Fakta Mengejutkan Soal Akses Kesehatan di Korea Utara

Fakta Mengejutkan Soal Akses Kesehatan di Korea Utara

infokorea – Korea Utara, negara tertutup yang kerap menjadi sorotan dunia karena sistem politiknya yang otoriter dan kultus pemimpin yang kuat, menyimpan banyak misteri di berbagai sektor, termasuk kesehatan. Di tengah embargo internasional, keterbatasan informasi, dan sistem pemerintahan yang ekstrem, akses layanan kesehatan di negara ini menjadi topik yang jarang dibahas secara mendalam, namun sangat penting untuk dipahami.

Berbeda dari negara-negara lain yang memiliki transparansi dan kerja sama global dalam urusan medis, Korea Utara menjaga ketat data internalnya. Namun, berbagai laporan dari pembelot, pekerja bantuan kemanusiaan, dan lembaga internasional memberi gambaran mengejutkan tentang bagaimana sistem kesehatan di negara itu benar-benar bekerja.

Klaim Negara vs Realitas Lapangan

Janji Layanan Kesehatan Gratis

Secara resmi, pemerintah Korea Utara mengklaim bahwa warganya mendapat layanan kesehatan universal dan gratis. Sistem ini, menurut propaganda pemerintah, mencakup seluruh lapisan masyarakat dari desa terpencil hingga pusat kota seperti Pyongyang.

Namun, di balik slogan-slogan tersebut, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Banyak rumah sakit kekurangan obat-obatan, peralatan medis tidak memadai, dan tenaga medis tidak memiliki pelatihan atau gaji yang layak. Sering kali pasien harus membawa sendiri jarum suntik, perban, atau bahkan lampu senter untuk digunakan saat operasi.

Fasilitas yang Kontras antara Pyongyang dan Wilayah Lain

Kota Pyongyang, ibu kota Korea Utara, menjadi semacam etalase untuk wisatawan asing dan diplomat. Fasilitas kesehatan di sana relatif lebih baik dengan bangunan bersih dan dokter berpakaian rapi namun banyak yang menyebut ini hanya ‘hiasan’. Di luar Pyongyang, situasinya memburuk drastis. Rumah sakit di daerah pedesaan sering kali tak memiliki listrik, air bersih, atau bahkan lantai keramik.

Tenaga Medis: Antara Pengabdian dan Tekanan Politik

Dokter yang Tak Dibayar dengan Uang

Di banyak bagian negara, dokter tidak menerima gaji tetap dalam bentuk uang. Sebaliknya, mereka mungkin diberi kompensasi berupa makanan, kupon, atau barang lain dari pemerintah lokal. Hal ini berdampak pada motivasi dan kualitas layanan.

Laporan menyebutkan bahwa banyak dokter dan perawat terpaksa mengandalkan kerja sampingan atau bahkan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Beberapa juga memungut bayaran secara diam-diam dari pasien, sekalipun sistem resmi melarang praktik semacam itu.

Pelatihan yang Terbatas dan Kurangnya Pembaruan Ilmu

Karena terbatasnya akses informasi dari luar negeri, tenaga medis di Korea Utara tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan modern atau mengakses jurnal ilmiah terbaru. Beberapa rumah sakit bahkan masih menggunakan buku teks kedokteran dari era Soviet tahun 1950-an. Peralatan yang digunakan juga sering kali sudah ketinggalan zaman atau rusak parah.

Kekurangan Obat-obatan: Pasien Harus Beli Sendiri

Pasien Menjadi “Penyedia” Kebutuhan Medis

Meski negara mengklaim menyediakan layanan medis gratis, dalam praktiknya pasien sering kali diminta membawa perlengkapan sendiri. Ini termasuk obat, perban, alkohol medis, jarum suntik, bahkan sarung tangan karet. Tak jarang pasien harus mencari obat ke pasar gelap atau melalui jalur ilegal dari Cina.

Jika pasien tidak mampu membeli peralatan dasar tersebut, mereka mungkin tidak akan dilayani. Hal ini menimbulkan kesenjangan besar antara mereka yang mampu dan tidak mampu secara finansial, sekalipun negara mengklaim menerapkan sistem kesetaraan.

Obat-obatan dari Bantuan Asing Banyak Dialihkan

Selama bertahun-tahun, badan internasional seperti WHO dan Palang Merah telah mengirim bantuan medis ke Korea Utara. Namun, laporan menyebutkan bahwa sebagian besar bantuan tersebut dialihkan ke kalangan elite atau bahkan dijual kembali dengan harga mahal. Hal ini membuat warga biasa tetap tidak mendapat manfaat yang dijanjikan dari bantuan kemanusiaan internasional.

Rumah Sakit yang Kosong, Tapi Penuh Dokumen

Banyak Bangunan Tanpa Fungsi Medis Nyata

Terdapat banyak bangunan rumah sakit dan klinik yang tampak megah dari luar, namun tak berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa bahkan kosong, tidak memiliki pasien, dokter, atau peralatan medis. Struktur ini dibangun lebih sebagai simbol propaganda bahwa negara “peduli” terhadap kesehatan rakyatnya.

Kunjungan medis atau pengecekan rutin bisa saja hanyalah prosedur di atas kertas. Pasien yang diwawancarai oleh LSM mengaku tidak pernah menerima pemeriksaan kesehatan tahunan, meskipun sistem resmi mencatat bahwa mereka telah diperiksa.

Administrasi Berbasis Kepatuhan, Bukan Efektivitas

Segala proses di fasilitas medis harus dilaporkan secara detail kepada pemerintah. Dokter dan kepala rumah sakit lebih fokus memenuhi target administratif dan membuat laporan “sukses” daripada meningkatkan kualitas layanan nyata. Bahkan ada cerita bahwa beberapa rumah sakit dipaksa membuat laporan fiktif demi mempertahankan reputasi.

Akses Kesehatan Bergantung pada Status Sosial

Sistem “Songbun” yang Membatasi Segalanya

Di Korea Utara, setiap warga diklasifikasikan berdasarkan sistem songbun, yaitu sistem kasta sosial politik yang menentukan hak dan peluang hidup. Mereka yang dianggap loyal kepada rezim memiliki akses lebih baik—termasuk dalam hal layanan medis.

Mereka yang berasal dari keluarga “bermasalah” (misalnya, keturunan tahanan politik) sering kali tidak mendapatkan akses ke rumah sakit yang layak. Bahkan jika mereka sakit parah, sangat sedikit dokter yang mau mengambil risiko merawat mereka karena takut dicurigai oleh pihak keamanan negara.

Kesehatan Jadi Alat Kontrol Sosial

Tidak hanya akses pendidikan atau pekerjaan, tetapi kesehatan pun bisa menjadi alat kontrol politik di Korea Utara. Beberapa sumber menyebut bahwa pasien yang terlalu kritis terhadap sistem medis bisa dianggap sebagai pembangkang. Bahkan ada kasus di mana keluarga yang melaporkan kondisi rumah sakit kepada organisasi luar, dikenai hukuman berat.

Kondisi Gizi dan Dampaknya pada Kesehatan Umum

Kelaparan yang Memicu Krisis Gizi Jangka Panjang

Kekurangan makanan kronis menjadi faktor utama yang memburuknya kondisi kesehatan di Korea Utara. Banyak anak-anak lahir dalam keadaan kurang gizi, dan pertumbuhan mereka terganggu secara permanen. Anak yang kekurangan gizi rentan terhadap infeksi, pertumbuhan otak yang tidak optimal, dan gangguan metabolisme.

Laporan dari World Food Programme menyatakan bahwa lebih dari 40% anak-anak Korea Utara mengalami stunting atau pertumbuhan yang tidak sesuai usia. Dalam banyak kasus, tidak ada upaya pengobatan karena ketiadaan fasilitas dan tenaga ahli yang memadai.

Penyakit yang Bisa Dicegah Justru Mematikan

Penyakit seperti TBC, malaria, dan infeksi saluran pernapasan yang seharusnya bisa dicegah dan diobati dengan mudah, justru menjadi penyebab utama kematian di negara ini. Vaksinasi pun tidak merata, terutama di daerah terpencil.

Banyak ibu hamil melahirkan tanpa bantuan medis, dan angka kematian bayi tergolong tinggi. Hal ini sangat kontras dengan negara tetangga seperti Korea Selatan, yang memiliki salah satu sistem kesehatan terbaik di dunia.

Tekanan Pandemi dan Tantangan Modern

COVID-19 dan Keheningan Pemerintah

Korea Utara mengklaim bahwa mereka tidak mencatat satu pun kasus COVID-19 hingga pertengahan 2022. Klaim ini diragukan oleh komunitas internasional, mengingat perbatasan yang tidak sepenuhnya tertutup dan minimnya tes massal.

Ketika varian Omicron menyebar cepat, pemerintah akhirnya mengakui adanya “demam misterius” dan memulai kampanye internal untuk pengobatan tradisional. Dalam beberapa laporan, warga diminta menggunakan obat herbal atau kompres dingin sebagai pengganti vaksin dan antivirus modern.

Ketergantungan pada Medis Tradisional dan Alternatif

Karena keterbatasan obat modern, banyak warga dan tenaga medis di Korea Utara mengandalkan pengobatan tradisional. Teh herbal, akupunktur, dan ramuan tanaman lokal digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, termasuk yang parah sekalipun.

Walaupun pengobatan alternatif bisa membantu dalam kasus ringan, keandalan metode ini belum teruji untuk penyakit serius seperti kanker, gagal ginjal, atau komplikasi pascaoperasi. Tanpa peralatan modern, harapan hidup banyak pasien sangat rendah.

Harapan dan Upaya Bantuan Internasional

Organisasi Kemanusiaan Berjalan di Atas Tali Tipis

Lembaga seperti WHO, Palang Merah Internasional, dan Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders) beberapa kali berupaya mengakses dan memberikan bantuan ke Korea Utara. Namun, mereka harus tunduk pada pengawasan ketat, tidak boleh menyebar data tanpa persetujuan, dan hanya bisa bekerja di area tertentu.

Bantuan yang berhasil masuk pun sering kali mengalami keterlambatan atau bahkan dialihkan oleh pemerintah untuk kepentingan elit. Ini membuat distribusi tidak merata dan manfaatnya tidak dapat dirasakan secara luas.

Perlu Transparansi dan Kerja Sama Global

Banyak pakar kesehatan global percaya bahwa sistem kesehatan Korea Utara tidak akan membaik tanpa adanya transparansi dan kerja sama lintas batas. Namun selama pemerintah menutup diri dan menjadikan data kesehatan sebagai rahasia negara, perubahan akan sangat lambat, bahkan nyaris mustahil.

Kesehatan dalam Cengkeraman Rezim

Akses kesehatan di Korea Utara bukan sekadar masalah medis, tetapi juga cerminan dari sistem politik dan ekonomi yang tertutup. Di balik narasi negara yang mengklaim memberikan layanan kesehatan universal dan gratis, tersimpan kenyataan menyedihkan: rumah sakit kosong, obat yang tak tersedia, dan pasien yang harus berjuang sendiri demi sembuh.

Dengan sistem yang memprioritaskan propaganda dibanding pelayanan nyata, nasib jutaan warga Korea Utara berada dalam ketidakpastian. Dunia boleh berspekulasi, tapi warga biasa di sana merasakannya langsung—bahwa sakit di Korea Utara bukan hanya soal tubuh, tapi juga tentang sistem yang tak memihak.