Parasite Korea Dan Realitas
infokorea.web.id Beberapa pihak yang pernah menonton film drama korea,Parasite pasti juga penasaran bagaimana realita berkata terhadap fil ini. Pada kesempatan kali ini kami akan memberikan beberapa artikel yang berkaitan tentang pembahasan mengenai Parasite Korea Dan Realitas. Berikut ini akan kami berikan beberapa ulasan dan pembahasan yang berkaitan mengenai Parasite Korea Dan Realitas
Film Parasite menuai sukses besar di ajang Oscar 2020. Di balik kesuksesan film ini, kesenjangan antara si miskin dan si kaya memang nyata di Korea Selatan.Film Parasite karya sutradara Bong Joon-Ho meraih sukses besar di ajang Oscar 2020. Parasite meraih 4 piala Oscar untuk kategori Best Director, Best Original Screenplay, Best International Feature Film dan Best Picture.Film ‘Parasite’ memotret dengan sangat baik realitas kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Korea Selatan. Tak hanya sekadar kisah fiksi, tetapi di dunia nyata, kesenjangan sosial itu memang nyata adanya.
Senin (10/2/2020), masih banyak orang Korea yang hidup di apartemen sempit semi bawah tanah seperti di film Parasite. Apartemen ini disebut sebagai banjinha.Banjinha lahir dari konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Dahulu, di tahun 1968, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Korea Selatan, Park Chung-hee yang dilakukan oleh utusan dari Korea Utara.Percobaan tersebut gagal, tapi akibatnya hubungan kedua negara memburuk. Terjadi beberapa serangan terorisme yang dilakukan oleh agen Korea Utara yang menyusup ke Korea Selatan.
Akhirnya di era tahun 1970-an, pemerintah Korea Selatan mewajibkan agar gedung-gedung apartemen yang baru dibangun basement yang bisa berfungsi sebagai bunker, apabila ada serangan militer dari Korea Utara. Sehingga, terciptalah banjinha.Sekarang ini, ada ribuan orang Korea yang memilih tinggal di Banjinha rata-rata adalah anak muda atau para pekerja yang berpenghasilan rendah. Alasan mereka tinggal di banjinha karena harga sewanya yang murah.Tapi sebenarnya, dulu tinggal di Banjinha adalah hal yang ilegal. Namun karena krisis perumahan yang terjadi di tahun 1980-an, pemerintah Korea Selatan akhirnya melegalkan banjinha untuk dijadikan tempat tinggal.
Stigma negatif pun melekat pada mereka yang tinggal di Banjinha. Kesan miskin dan tidak aman terus menghantui para penghuni Banjinha. Apalagi orang Korea Selatan masih menganggap punya mobil dan rumah yang bagus adalah sebuah standar hidup layak di Korea.Tapi sejak adanya film ‘Parasite’, orang-orang Korea jadi lebih terbuka dengan realitas adanya orang-orang yang tinggal di Banjinha. Contohnya saja pasangan Park Young Jun (26) dan Shim Min (24), fotografer dan youtuber yang tinggal di Banjinha.Shim Min dan Park Young Jun membuat video Youtube tentang bagaimana rasanya tinggal di banjinha, hingga bagaimana merenovasi banjinha. Vlog itu ternyata mendapat respon yang positif dari para subscribernya.
Rata-rata dari para subscriber itu memuji betapa stylishnya Shim dan Park dalam mendandani Banjinha mereka. Bahkan ada juga yang jadi ingin tinggal di Banjinha gara-gara video bikinan mereka.Meski begitu, Park dan Shim, serta ribuan orang lainnya di Seoul tidak ingin selamanya tinggal di Banjinha. Sambil terus bekerja, mereka akan menabung hingga nantinya bisa membeli rumah seperti di mimpi mereka.Film ‘Parasite’ meraih banyak penghargaan. Di balik sukses itu, ada kenyataan pahit yang tersembunyi. Masih banyak orang Korea Selatan yang tinggal di apartemen sempit.
Film ‘Parasite’ karya sutradara Bong Joon-Ho meraih sukses besar secara global. Sudah banyak penghargaan diraih film ini. Mulai dari BAFTA Award hingga Palme d’Or Festival Film Cannes dimenangkan oleh ‘Parasite’.Tapi, di balik suksesnya film tersebut tersembunyi kenyataan yang tidak akan disangka-sangka traveler. Fragmen cerita film tentang kesenjangan orang miskin dan orang kaya di Korea Selatan memang nyata adanya.Masih banyak orang Korea yang tinggal di apartemen sempit yang sangat tidak layak. Tercatat ribuan orang masih tinggal di sana, padahal lokasinya ada di Seoul, kota metropolitan sekaligus ibu kota Korea Selatan.
Dilansir dari BBC, Kamis (6/2/2020), apartemen sempit seperti di film ‘Parasite’ itu disebut sebagai banjinha. Salah satu yang masih bertahan tinggal di banjinha bernama Oh Kee-Cheol (31).Tempat tinggal Kee-Cheol sangat sempit, jendelanya kecil. Cahaya matahari bahkan enggan masuk ke dalam. Kamar mandinya apalagi. Kee-Cheol sampai harus merentangkan kaki agar kepalanya tidak kepentok langit-langit.Setiap tahun, Kee-Cheol juga harus bertarung melawan kelembaban dan jamur yang tumbuh di setiap sudut tempat tinggalnya. Tinggal di banjinha, seperti mimpi buruk bagi mereka yang phobia dengan ruang sempit.
“Ketika pertama kali pindah ke sini, tangan dan kaki saya luka-luka karena kepentok tangga dan tembok beton rumah ini. Tapi, sekarang saya sudah hapal,” kata Kee-Cheol yang bekerja di industri logistik.Banjinha tidak serta merta langsung ada. Ada sejarah cukup panjang di baliknya. Eksisnya banjinha masih ada hubungannya dengan konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan.Ceritanya, di tahun 1968 ada rencana pembunuhan Presiden Korea Selatan, Park Chung-hee yang dilakukan oleh utusan Korea Utara. Beruntung, rencana tersebut berhasil digagalkan.
Hubungan kedua negara pun memburuk akibat peristiwa itu. Beberapa agen Korea Utara berhasil menyusup ke Korea Selatan dan terjadilah beberapa kali aksi terorisme.Di tahun 1970, emerintah Korea Selatan akhirnya memerintahkan agar gedung-gedung apartemen yang baru dibangun, harus memiliki basement yang bisa berfungsi sebagai bunker, apabila ada serangan militer. Jadilah banjinha seperti yang kita kenal sekarang.Sebenarnya, menyewakan banjinha termasuk tindakan ilegal. Tapi karena krisis perumahan yang terjadi di tahun 1980-an, pemerintah Korea Selatan akhirnya melegalkan banjinha untuk dijadikan tempat tinggal.
Di dunia nyata, banyak pekerja bergaji rendah dan anak-anak muda yang masih tinggal di banjinha. Mereka memilih tinggal di banjinha karena harga sewanya yang sangat terjangkau.Meski begitu, stigma negatif masih terus mengiringi mereka yang tinggal di banjinha.”Saya sebenarnya baik-baik saja dengan apartemen saya. Saya memilih tinggal di banjinha untuk menghemat uang dan saya bisa menabung banyak dari itu. Tapi saya sadar, saya tidak bisa menghentikan orang untuk mengasihani saya,” Kee-Cheol mengeluhkan.”Di Korea, orang masih menganggap penting untuk punya mobil bagus atau rumah. Saya pikir banjinha menyimbolkan kemiskinan,” dia menambahkan.Tapi, ada juga pasangan muda Korea yang masih optimistis terhadap masa depan meski mereka tinggal di banjinha. Pasangan Park Young Jun (26) dan Shim Min (24) adalah salah satu contohnya.
Park pindah ke banjinha setelah nonton film ‘Parasite’. Alasan Park pindah sangat sederhana, karena harga sewanya yang sangat terjangkau. Sementara Shim Min, awalnya tidak setuju pindah ke anjinha.”Saya punya persepsi yang sangat negatif terhadap banjinha. Tinggal di sana sangat tidak aman, mengingatkan saya dengan sisi gelap kota,” kata Shim Min.Tinggal di banjinha ternyata malah jadi berkah bagi Shim Min dan Park Young Jun. Shim membuat video Youtube tentang bagaimana rasanya tinggal di banjinha hingga merenovasi banjinha. Rupanya, vlog tersebut mendapat respon yang positif dari para subscriber channel-nya.Mereka mengomentari betapa stylish-nya pasangan ini dalam mendandani rumah. Bahkan, ada mereka yang merasa iri dengan Park dan Shim yang tinggal di banjinha.
“Kami mencintai rumah kami dan bangga dengan hasil pekerjaan yang kami lakukan di sini. Tapi kami tidak ingin selamanya tinggal di banjinha. Suatu saat kami akan pindah,” Shim melanjutkan.Shim dan Park kini tengah menabung untuk bisa membeli rumah sendiri, begitu pula dengan Kee-Cheol. Mereka akan terus bekerja sambil berharap nasib akan berubah dan masa depan akan kembali cerah.Film Parasite dibanjiri berbagai penghargaan, termasuk jebol ke ajang Oscar 2020. Film ini mendapatkan penghargaan di kategori, best director, best international film dan best original screenplay di Oscar 2020. Film ini mengangkat berbagai isu sosial masyarakat Korea, salah satunya obsesi pada pendidikan.Ketika menonton Parasite, penonton tak cuma disuguhi sinematografi film yang apik dan akting para pemainnya yang ciamik. Melalui film itu, penonton juga diajak untuk mengetahui berbagai persoalan yang dialami masyarakat Korea Selatan, salah satunya mengenai kesenjangan sosial dalam akses mendapatkan pendidikan.
Bila traveler ingat, film ini dibuka dengan realita hidup keluarga Kim Ki Taek yang tinggal di sebuah hunian sempit dan kotor. Di sana ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya, Kim Ki Woo dan Kim Ki Jung.Belakangan diketahui bahwa Ki Woo sang anak lelaki punya kecerdasan di atas rata-rata meskipun ia berkali-kali gagal masuk perguruan tinggi. Nasibnya tak beda jauh dengan adik perempuannya, Ki Jung yang gagal masuk sekolah seni.Ki Woo dan Ki Jung gagal meraih mimpinya masuk universitas ternama karena mereka miskin. Padahal mereka punya kecerdasan yang dibuktikan dengan kesanggupan mereka menjadi guru les privat untuk anak-anak orang kaya.Sebaliknya, anak-anak orang kaya dari keluarga Park yang mendapatkan pengajaran privat dari Ki Woo dan Ki Jung harus dipaksa orang tua mereka untuk belajar dan mendapatkan pendidikan terbaik. Dalam film itu, kita dapat melihat bagaimana anak perempuan keluarga Park belajar mati-matian dengan bantuan Ki Woo untuk dapat lolos tes bahasa Inggris.
Baca juga : Anak Korsel Jalan Jalan Malah Kena Virus Corona
Potret pendidikan dalam film Parasite ini memang senyata-nyatanya ada di Korea Selatan. Setiap tahun, pelajar di Korea Selatan akan menghadapi ujian masuk universitas yang disebut sebagai Suneung atau Tes Kemampuan Akademis Perguruan Tinggi yang bentuknya mirip SAT di Amerika Serikat.Pada 2018 lalu, tak kurang dari 590 ribu pelajar SMA yang mengikuti ujian ini. Menurut Yonsei News, para pelajar ini harus menyelesaikan ujian selama 9 jam yang meliputi tes geografi Korea, etika dan pemikiran, hukum dan politik, sejarah dunia, dan topik-topik lainnya.
Untuk membuat suasana ujian kondusif, pemerintah sampai membuat kebijakan untuk mengalihkan rute penerbangan agar tidak berisik, aktivitas di bank dan pasar keuangan Korea Selatan dimulai lebih lambat dari biasanya, dan meningkatkan frekuensi perjalanan menggunakan bus dan kereta bawah tanah.Para pelajar yang ikut ujian ini bersaing untuk mendapatkan skor tertinggi agar dapat masuk ke universitas papan atas di Korea Selatan seperti Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University atau disingkat menjadi SKY. Selain itu, skor tinggi ini akan menjadi bukti kemampuan akademik seseorang bahkan dianggap menjadi tolak ukur kesuksesan negara Korea Selatan di masa depan.
Bila dilihat dari budaya, Korea Selatan dipengaruhi Konfusianisme yang membentuk masyarakat untuk menempatkan sarjana duduk di puncak hierarki sosial dan pencapaian pengetahuan dianggap sebagai prioritas. Oleh sebab itu, orang yang berpendidikan di Korea sangat dihormati.Selain itu bila dilihat dari sejarah perkembangan negara Korea Selatan, negara ini dulunya adalah negara miskin, terutama setelah meletusnya Perang Korea pada awal 1950-an. Namun mereka bangkit melalui sumber daya manusia yang berpendidikan baik. Saat ini, mereka menjadi salah satu Macan Asia Timur.”Pendidikan adalah sumber utama mobilitas sosial di Korea selama masa perkembangannya,” kata profesor sosiologi dari Stanford University, Shin Gi-Wook sebagaimana diwartakan South Morning China Post (SMCP).”Orang Korea percaya bahwa tanpa obsesi yang dipimpin oleh negara terhadap pendidikan, Korea Selatan tidak akan dapat mencapai status yang dimilikinya saat ini dalam ekonomi dunia … Pendidikan adalah inti dari upaya Korea Selatan untuk berhasil,” lanjutnya.
Dengan demikian obsesi akan pendidikan ini tak hanya mengakar dalam diri individu belaka tetapi dikonstruksi oleh negara.Obsesi akan pendidikan itu sudah dibentuk sejak usia dini. Dilansir dari Asian Times, Senin (10/2/2020) para pelajar ini sudah belajar keras selama berjam-jam sejak SD. Sementara itu dikutip dari SMCP, Senin (10/2/2020) para pelajar bahkan sudah mempersiapkan ujian Suneung sejak usia 13 atau 14 tahun.Pada saat SMA, mereka akan tinggal di sekolah sampai pukul 10 malam setelah pelajaran reguler berakhir. Tak sampai di situ, pada saat akhir pekan, mereka juga tidak libur. Mereka yang punya banyak uang akan mengikuti les privat seperti yang dilakukan anak dari keluarga Park.Para pelajar ini berharap dengan mendapatkan pendidikan terbaik, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama seperti Samsung, LG, atau Hyundai . Namun harapan indah itu tak selamanya didapatkan seluruh pelajar. Menurut Shin, budaya belajar ekstrem di Korea Selatan itu justru membuat anak mudanya tidak siap menghadapi dunia nyata.
“Anak-anak muda ini menghabiskan 25 hingga 30 tahun pertama kehidupan mereka untuk belajar ujian, dan ketika mereka akhirnya pindah dari cangkang mereka ke dunia nyata dan menyadari bahwa hidup bukanlah tes pilihan ganda, dan tidak selalu ada tes yang jelas dan jawaban untuk setiap masalah, itu sudah menjadi krisis paruh bya bagi mereka,” katanya.”Belajar ekstrem ini menguras fisik dan secara mental tidak sehat dengan menghabiskan masa muda seseorang untuk belajar untuk ujian dan ujian lagi,” tegas Shin.Senada dengan Shin, profesor sosiologi dari University of California Barkeley, John Lie juga mengatakan. “Belajar sepanjang hari dan sampai malam seperti halnya di Korea Selatan, itu mengerikan bagi anak-anak dan sama sekali tidak fungsional bagi masyarakat, apakah kita peduli dengan produktivitas atau kebahagiaan,” ujarnya.
Di tengah tren belajar mati-matian untuk ikut ujian Suneung, ada sekelompok siswa yang melakukan protes di luar Balai Kota Seoul pada 2018 lalu. Mereka protes mengenai ketidakadilan dalam sistem ujian dengan mengatakan, “kami menolak untuk berkompetisi.” Papan-papan slogan yang mereka bawa bertuliskan “Universitas bukan pusat segalanya.”Mengenai sejumlah kekurangan dari sistem tes penerimaan perguruan tinggi di Korea Selatan saat ini, Shin memberikan sejumlah saran untuk perbaikan.”Misalnya, harus ada kriteria penerimaan yang beragam seperti komitmen, kepemimpinan, dan sebagainya,” katanya.”Beberapa sekolah berusaha untuk mereformasi pendekatan mereka untuk penerimaan dan mencoba untuk memasukkan kriteria yang berbeda tetapi masih pada tingkat yang dangkal. Agar universitas dan perusahaan Korea dapat lebih bersaing dengan pesaing global mereka, kita perlu melihat beberapa perubahan positif pada sistem yang kaku saat ini,” tutupnya.