
Sejarah Korea Selatan yang Membentuk Bangsanya Kini
infokorea – Korea Selatan, sebuah negara di Semenanjung Korea yang kini dikenal dengan teknologi canggih, budaya pop mendunia, dan ekonomi yang stabil, menyimpan jejak sejarah yang panjang, kompleks, dan sarat perjuangan. Di balik gemerlapnya K-Pop, drama Korea, serta industri teknologi seperti Samsung dan Hyundai, terdapat narasi sejarah penuh luka, ketahanan, serta transformasi sosial yang luar biasa.
Artikel ini akan menelusuri jejak panjang sejarah Korea Selatan dari era kuno, penjajahan, pembebasan, perang saudara, hingga kebangkitannya menjadi negara maju. Kisah ini ditulis dengan kalimat yang bervariasi untuk menjaga alur tetap dinamis dan menyajikan pembacaan yang tidak membosankan.
Akar Peradaban: Tiga Kerajaan Awal
Sejarah Korea dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Salah satu catatan tertua berasal dari legenda Dangun yang menyebutkan pendirian kerajaan Gojoseon sekitar tahun 2333 SM. Meskipun mitologis, kisah ini mengilustrasikan bagaimana masyarakat Korea kuno sudah membentuk identitasnya.
Pada abad pertama SM hingga abad ketujuh Masehi, wilayah Korea dikuasai oleh tiga kerajaan utama:
-
Goguryeo (37 SM–668 M): Kerajaan yang kuat di utara, dikenal karena militernya yang tangguh.
-
Baekje (18 SM–660 M): Terletak di barat daya, dikenal dengan budaya dan seni yang berkembang pesat.
-
Silla (57 SM–935 M): Kerajaan yang akhirnya berhasil menyatukan semenanjung Korea melalui aliansi dengan Dinasti Tang dari Tiongkok.
Penyatuan ini melahirkan Silla Bersatu, lalu kemudian muncul Goryeo (918–1392) yang menjadi cikal bakal nama “Korea”, dan akhirnya digantikan oleh Joseon (1392–1897), kerajaan yang meninggalkan pengaruh besar dalam budaya dan sistem masyarakat Korea modern.
Era Dinasti Joseon dan Pengaruh Neo-Konfusianisme
Dinasti Joseon bertahan selama lebih dari lima abad dan memberikan kontribusi besar terhadap identitas bangsa Korea. Pada masa ini, sistem sosial berbasis Konfusianisme berkembang, menanamkan nilai-nilai seperti kesetiaan, moralitas, penghormatan terhadap orang tua, dan pentingnya pendidikan.
Sistem hierarki sosial yang ketat terbentuk. Masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas, termasuk bangsawan (yangban), rakyat biasa, budak, dan pekerja kasar. Pendidikan menjadi hak istimewa kaum atas, dan ujian negara (gwageo) menjadi sarana seleksi pejabat.
Masa Joseon juga menyaksikan penciptaan alfabet Korea oleh Raja Sejong Agung pada abad ke-15: Hangeul, sistem tulisan fonetik yang revolusioner karena memungkinkan masyarakat awam membaca dan menulis. Ini menjadi tonggak penting dalam pembentukan identitas nasional Korea yang terpisah dari dominasi budaya Tiongkok.
Masa Penjajahan Jepang: Luka Sejarah yang Dalam
Pada akhir abad ke-19, Joseon mengalami pelemahan internal dan tekanan eksternal, terutama dari kekuatan besar seperti Jepang dan Tiongkok. Setelah kekalahan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1905), Jepang memperoleh kendali atas Korea dan secara resmi menjadikan Korea sebagai koloninya pada tahun 1910.
Penjajahan Jepang (1910–1945) meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Korea. Rakyat dipaksa menggunakan bahasa Jepang, nama Jepang, serta tunduk pada sistem pendidikan dan hukum kolonial. Budaya dan warisan Korea ditekan habis-habisan. Bahkan, banyak perempuan Korea dipaksa menjadi “comfort women” (budak seks) untuk tentara Jepang isu yang masih menyisakan ketegangan diplomatik hingga kini.
Namun, masa ini juga memicu munculnya gerakan nasionalis. Pemberontakan besar seperti Gerakan 1 Maret 1919 menunjukkan semangat perlawanan rakyat Korea. Tokoh-tokoh seperti Kim Gu, Syngman Rhee, dan lainnya berjuang dari dalam dan luar negeri untuk merebut kemerdekaan.
Korea Merdeka, Tapi Terbelah
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu di akhir Perang Dunia II, Korea akhirnya bebas dari kolonialisme. Namun kemerdekaan itu datang dengan harga mahal: negeri ini dibagi dua oleh garis paralel 38, dengan Uni Soviet menguasai utara dan Amerika Serikat menguasai selatan.
Pembagian yang semula bersifat administratif itu justru berakhir menjadi pemisahan permanen. Pada tahun 1948, berdirilah dua negara terpisah:
-
Korea Selatan (Republik Korea) dengan presiden pertama Syngman Rhee.
-
Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) dipimpin oleh Kim Il-sung.
Perbedaan ideologi antara kedua negara semakin tajam, memicu pecahnya konflik berdarah yang dikenal sebagai Perang Korea (1950–1953).
Perang Korea: Tragedi yang Membentuk Generasi
Perang Korea adalah bencana kemanusiaan besar. Dimulai ketika Korea Utara menyerang Selatan pada 25 Juni 1950, perang ini menyebabkan kehancuran masif dan jutaan korban jiwa. AS dan pasukan PBB mendukung Korea Selatan, sementara Tiongkok membantu Korea Utara.
Setelah tiga tahun peperangan yang melelahkan, gencatan senjata ditandatangani di Panmunjom pada tahun 1953. Namun, hingga hari ini, kedua Korea secara teknis masih berperang karena tidak pernah menandatangani perjanjian damai resmi.
Dampak dari perang ini sangat besar. Korea Selatan hancur secara infrastruktur dan ekonomi. Namun, tragedi ini juga menjadi titik balik yang memupuk semangat bertahan hidup dan kerja keras masyarakatnya.
Era Modernisasi dan Otoritarianisme
Setelah perang, Korea Selatan memasuki masa sulit. Negara ini miskin, bergantung pada bantuan luar negeri, dan mengalami instabilitas politik. Namun, pada akhir 1960-an, Korea Selatan mulai menunjukkan perubahan.
Di bawah pemerintahan militer Park Chung-hee (1961–1979), negara ini menjalankan program industrialisasi besar-besaran yang dikenal dengan “Keajaiban di Sungai Han”. Korea Selatan bertransformasi dari negara agraris menjadi negara industri.
Namun, kemajuan ekonomi ini dibarengi dengan pemerintahan otoriter yang mengekang kebebasan sipil dan hak politik. Demonstrasi mahasiswa dan protes buruh kerap dibubarkan dengan kekerasan. Meski demikian, pembangunan infrastruktur, ekspor, dan pendidikan terus melesat.
Gerakan Demokrasi dan Transisi Politik
Pada tahun 1980-an, masyarakat Korea Selatan mulai bangkit menuntut demokrasi. Demonstrasi besar seperti Pemberontakan Gwangju 1980 menjadi simbol perjuangan rakyat terhadap rezim militer.
Pada tahun 1987, setelah gelombang demonstrasi besar-besaran, pemerintah akhirnya mengizinkan pemilihan presiden langsung. Inilah awal dari transisi Korea Selatan menuju negara demokratis.
Sejak saat itu, berbagai presiden terpilih secara demokratis. Reformasi sistem hukum, kebebasan pers, dan pemajuan hak asasi manusia terus dilakukan. Walau masih menghadapi tantangan politik internal, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu demokrasi paling maju di Asia.
Kebangkitan Budaya dan Soft Power Korea
Memasuki abad ke-21, Korea Selatan tidak hanya dikenal karena ekonominya, tetapi juga karena kekuatan budayanya yang mendunia. Fenomena ini disebut sebagai Korean Wave (Hallyu).
-
Musik K-Pop: BTS, BLACKPINK, EXO, dan lainnya menjadi ikon global.
-
Drama Korea (K-Drama): Seri seperti “Crash Landing on You” dan “Squid Game” menggemparkan dunia.
-
Film: “Parasite” (2019) memenangkan Oscar, memperkuat pengaruh perfilman Korea.
-
Kuliner dan Fashion: Makanan Korea, tren kecantikan (K-beauty), hingga gaya busana menjadi tren di banyak negara.
Kebangkitan ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia adalah hasil dari kebijakan pemerintah Korea Selatan yang sejak akhir 1990-an mendukung ekspor budaya sebagai strategi ekonomi dan diplomasi.
Transformasi Ekonomi yang Menginspirasi Dunia
Korea Selatan kini menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Dalam beberapa dekade, negara ini telah melampaui banyak negara yang dulu lebih makmur darinya.
Beberapa pilar utama pembangunan ekonominya antara lain:
-
Industri Teknologi: Samsung, LG, dan SK Hynix adalah pemain utama global dalam teknologi.
-
Otomotif: Hyundai dan Kia telah menembus pasar internasional.
-
Pendidikan: Sistem pendidikan Korea Selatan terkenal ketat, tapi berhasil mencetak SDM unggul.
-
R&D dan Inovasi: Pemerintah Korea terus mendorong riset dan pengembangan.
Namun, di balik kesuksesan ini, ada tantangan baru seperti kesenjangan sosial, tingkat stres tinggi, dan persaingan pendidikan yang ekstrem.
Korea Selatan dan Hubungannya dengan Korea Utara
Hingga kini, hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara masih diliputi ketegangan. Meskipun ada momen rekonsiliasi seperti pertemuan antar-kepala negara pada 2018 konflik ideologi dan masalah keamanan terus menghantui.
Warga Korea Selatan pada umumnya menginginkan reunifikasi damai, tetapi generasi muda mulai memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak realistis atau bahkan membebani secara ekonomi.
Identitas Nasional yang Terbentuk dari Perjuangan
Jika ditanya apa yang membentuk karakter bangsa Korea Selatan saat ini, jawabannya bukan hanya budaya pop atau teknologi, tetapi perjuangan panjang melawan penjajahan, perang saudara, kemiskinan, otoritarianisme, hingga akhirnya menjadi negara modern.
Nilai-nilai yang menonjol dalam masyarakat Korea modern antara lain:
-
Kerja keras dan disiplin tinggi
-
Semangat kolektif dan gotong royong
-
Pentingnya pendidikan sebagai jalan mobilitas sosial
-
Kebanggaan nasional dan daya saing global
Sejarah yang Menjadi Pilar Masa Depan
Sejarah Korea Selatan bukanlah catatan linear, tetapi kumpulan pengalaman traumatis dan keberhasilan yang membentuk jati diri bangsa. Dari penjajahan hingga kemerdekaan, dari kehancuran perang hingga kemajuan teknologi, Korea Selatan terus membuktikan diri sebagai bangsa yang mampu bangkit dalam segala keadaan.
Apa yang terlihat hari ini panggung K-pop, sistem metro canggih, kampus kelas dunia, ekonomi digital yang melesat semua adalah hasil dari perjalanan sejarah panjang yang penuh pelajaran.
Melalui pemahaman sejarahnya, kita tidak hanya melihat Korea Selatan sebagai negara yang modern dan memesona, tapi juga sebagai bangsa yang tumbuh dengan luka, bangkit dengan kerja keras, dan maju berkat semangat tak kenal menyerah.